Sabtu (7/11) Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam menyelenggarakan sebuah program tahunan yakni Lawatan Sejarah dengan tema Sejarah, Sejarawan Dan Museum Kesejarahan. Lawatan kali ini diselenggarakan di Museum Daerah Tulungagung (Wajakensis) yang berada di Jalan Raya Boyolangu KM 4 Tulungagung dengan diikuti kurang lebih 30 peserta. Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan para mahasiswa sejarah peradaban Islam memilih pengetahuan lebih luas tentang kemuseuman.
Sebelum kegiatan lawatan dimulai peserta di briefing terlebih dahulu oleh Muhammad Syafiul Fajar guna menertibkan proses berjalannya kegiatan dari awal hingga akhir. Yang kemudian dipandu oleh Ibnu Cahyo selaku moderator acara, dan Tri Eni Budi Santoso selaku juru pelihara Museum Daerah Tulungagung sebagai pemateri.
Kegiatan Lawatan Sejarah ini merupakan kerjasama Divisi Manajemen Sumber Daya Mahasiswa (MSDM) dengan Divisi Relasi Informasi dan Komunikasi (Reforkasi) yang kemudian akan dilanjutkan dengan agenda Coffee History di hari berikutnya. Kegiatan lawatan ini dimulai dengan penyampaian sedikit informasi dan diskusi mengebai museum yang dalam hal ini Tri Eni Budi Santoso sebagai pemateri dan Ibnu Cahyo, mahasiswa SPI, sebagai moderator.
Mengutip dari International Fossil Shell Museum, “museum adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan kesenangan.” Sedikit penjelasan dari Ibnu Cahyo yang mengantarkan penjelasan lebih luas oleh pemateri yang akrab disapa Pak Eni.
Pak Eni tidak hanya menjelaskan tentang kemuseuman saja, tetapi ia juga menjelaskan asal mula didirikannya museum daerah Tulungagung. Ia menyampaikan bahwa museum daerah Tulungagung didirikan pada tahun 1996 akhir, yang kemudian baru dibuka pada tahun 1997. Mulanya koleksi tersebut berada di sebelah barat pendopo Tulungagung. Dikarenakan sulitnya akses perizinan menuju ke sana, maka atas inisiatif komunitas serta masyarakat, akhirnya pemerintah pun menggagas berdirinya museum. Pak Eni juga menuturkan, pada awalnya museum ini merupakan sebuah gudang, yang kemudian dialihfungsikan menjadi sebuah balai pelestarian pada tahun 2000. Dan pada tahun 2010 berganti nama menjadi museum Wajakensis. Kemudian, atas kritik dari sejarawan asal Belanda yang sering berkunjung ke Tulungagung, museum wajakensis mengalami perubahan nama menjadi museum daerah Tulungagung pada tahun 2020.
Satu jam berjalan diskusi pun berakhir dengan dua penanya dan satu tanggapan yang menyinggung masalah banyaknya benda bersejarah yang masih berada di Belanda. Yang kemudian dilanjut kegiatan lawatan sejarah yang kembali dipandu oleh Pak Eni. Beliau menjelaskan satu-persatu koleksi yang berada di museum. Setelah menelusuri tiap-tiap sudut ruangan, dengan sesekali berfoto ria, kegiatan lawatan pun berakhir. Sedikit pesan dari Pak Eni, bahwa kita sebagai generasi muda terutama mahasiswa jurusan sejarah, kiranya kita tetap menjaga koleksi peninggalan sejarah, dan memperkenalkannya ke masyarakat awam dengan memanfaatkan (kemajuan) era digital ini.