Kamis, Nov 28, 2024

Tradisi Tellasan Topak Syawal Sebagai Media Halal Bi Halal Bagi Masyarakat Majangtengah Dampit Kabupaten Malang

Pacitan-Diskursus LPPM STKIP PGRI Pacitan pada edisi Mei 2022 menghadirkan Kajur Adab Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UIN Satu Tulungagung, yakni Bpk. Dr. KRT. Ahmad Nurcholis Dwijonagoro,SS.,M.Pd. sebagai presenter yang membahas tema tentang “Tradisi Tellasan Topak Syawal Sebagai Media Halal Bi Halal bagi Masyarakat Majangtengah Kecamatan Dampit Kabupaten Malang” yang dimulai dari pukul 08.00 WIB s.d 11.00 WIB. Acara dikemas dengan metode diskusi interaktif via zoomeeting yang dikuti oleh 283 peserta dari kalangan akademisi, dosen, budayawan, mahasiswa, guru dan praktisi budaya jawa yang tergabung dalam organisasi PAKASA. Ketua LPPM STKIP PGRI Pacitan (Bpk. Dr. Sugiyono, M.Pd) menegaskan bahwa diskursus tersebut diadakan setiap bulan secara rutin dengan menghadirkan presenter dari dalam dan presenter dari luar secara bergantian.

Sebelumnya Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah (KRT. Heru Arif Pianto,S.Pd.,M. Hum) merekomendasikan kepada pihak LPPM STKIP Pacitan untuk mengundang Kajur Adab Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UIN Satu Tulungagung, dikarenakan kapasitasnya sebagai seorang muballigh dan pengamat budaya islam jawa yang telah memperoleh gelar kehormatan dari Keraton Surakarta Hadiningrat pada hari Ahad, 22 Mei 2022 bertepatan dengan 20 Sawal Alip 1955 dengan gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT). Di samping itu, distingsi Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah ada;ah Islamisasi jawa dan jawanisasi Islam. Peserta diskursus mengikuti acara dari awal hingga akhir acara dengan penuh antusias.

Tradisi Tellasan Topak Syawal berasal dari Bahasa Madura yang berarti Hari Raya Ketupat pada bulan Syawal. Pengaruh dominan dari tradisi tersebut adalah akulturasi budaya Islam Jawa yang diadopsi oleh masyarakat Madura Pendalungan atau Madura Ndalungan, yakni masyarakat etnis Madura yang telah bercampur dengan masyarakat etnis Jawa di mana mereka tinggal pada satu wilayah yang sama. Masyarakat desa Majangtengah adalah Madura Pendalungan, dengan perbandingan etnis Madura 60%, sedangkan etnis Jawa 40 %. Pepunden desa Majangtengah bernama KH. Muhammad Nur yang telah membabat desa Majangtengah di era sebelum kemerdekaan Indonesia. Beliau didampingi oleh kedua istrinya, yakni Nyai Hj. Siti Maimunah dan Nyai Hj. Siti Aminah. Pepunden berasal dari Pulau Madura, tepatnya Desa Konang, Kecamatan Konang, Kabupaten Bangkalan di mana nasabnya bersambung pada Bujuk Cendana atau Syeikh Zainal Abidin.

Tellasan Topak Syawal adalah suatu tradisi yang menggambarkan satu fenomena identitas sosial atau identitas kolektif. Grand theory dari penelitian ini adalah teori identitas sosial yang digagas oleh Turner (1996) yang mengatakan bahwa perilaku antar kelompok tertentu berdasarkan perbedaan tradisi, status kelompok, legitimasi dan stabilitas yang dipersepsikan akibat adanya perbedaan status tersebut, dan kemampuan yang dipersepsikan dalam berpindah dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Tellasan Topak Syawal sebagai identitas masyarakat desa Majangtengah Dampit, diperkenalkan oleh pepunden desa dan selanjutnya dipopulerkan oleh menantunya yang bernama KH. Muhammad Baihaqi, yakni generasi kedua yang memimpin ritual religious dan budaya di desa majangtengah. Beliau mengajarkan tentang budaya Halal Bi Halal yang dikemas dalam tradisi khusus yang diberi nama Tellasan Topak Syawal.

Rangkaian tradisi Tellasan Topak Syawal di desa Majangtengah terdiri dari: Pertama, Ikrar Halal Bi Halal, yang dilaksanakan pada tanggal 1 Syawal, dilaksanakan di dalam masjid jami’ An-Nur setelah sholat Idul Fitri dan khutbah Idul Fitri, yakni sebelum jama’ah pulang ke rumah masing-masing. Ikrar adalah janji dan kesediaan setiap warga untuk bersedia saling meminta maaf dan memaafkan satu sama lain. Ikrar tersebut berbunyi:  “Bismillahirrahmanirrahim. Ikrar Halal Bi Halal. Asyhadu’ alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah. Kami warga desa Majangtengah dengan segala kerendahan hati dan segenap keikhlasan meminta maaf atas segala kesalahan baik yang yang disengaja maupunyang tidak disengaja, dan kami bersedia memaafkan kesalahan dan kekhilafan satu sama lain. Hasbunallah wa ni’mal wakil ni’mal maula wa ni’man nashir wa laa haula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim”.

Kedua, Anjangsana dan Galak Gampil, yang dilaksanakan pada hari pertama hingga hari kelima pada bulan Syawal, yakni saling mengunjungi satu sama lain, untuk meminta maaf disertai dengan memberikan hadiah berupa uang kertas baru maupun uang logam baru, sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Hari Raya. Dimulai mulai pagi hari hingga malam hari dengan mengucapkan “nyo’on sepora” yang berarti “saya meminta maaf”, dan dibalas dengan “depadeh” yang berarti “iya, sama-sama”. Galak Gampil biasanya diperuntukkan bagi anak-anak, sedangkan bagi orang tua mendapat amplop, sebagai ungkapan rasa bakti dan cinta kasih.

Ketiga, Kirab Setretanan dan Bazar Jejen, yang dilaksanakan pada tanggal 5 Syawal, yakni festifal budaya atau karnafal berupa arak-arakan, berjalan bersama-sama atau beriring-iringan secara terartur dan berurutan dari depan sampai ke belakang dalam suatu rangkaian acara yang diikuti oleh anak-anak dan pemuda dari warga desa. Start dimulai dari lapangan desa Majangtengah dan finish di pendopo balai desa Majangtengah. Kirab disambut dengan Bazar Jejen atau jajanan pasar, hasil bumi, dan perkebunan yang dijual dengan harga murah atau bahkan gratis.

Keempat, Tellasan Topak Syawal, dilaksanakan hari keenam pada bulan Syawal, yakni Hari Raya untuk menghormati warga desa yang melaksanakan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh." (HR Muslim). Tellasan Topak Syawal didukung dengan ritual doa berkah dan keselamatan. Sejarah Tellasan Topak Syawal pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga dengan media antar lain:(a) Kupat yang merupakan singkatan dari ‘ngaku lepat’ (mengakui kesalahan) yang menjadi simbol untuk saling memaafkan. Kupat biasanya dimakan dengan Sayur Dun-Adun. (b) Lepet adalah makanan yang disajikan saat Lebaran. Kata lepet berasal dari kata 'silep' yang berarti 'kubur atau simpan' dan 'rapet' yang berarti 'rapat'. Peribahasa yang terkenal tentang lepet adalah 'mangga dipun silep ingkang rapet' yang berarti 'mari kita kubur yang rapat'. (c) Janur Kuning yang berasal dari kata “ja’a nuurun” artinya ‘telah datang petunjuk’. (d) Ketan yang merupakan perlambang yang diambil dari kata khatam (selesai) melakukan ibadah, takir dari kata dzikir, dan apem dari kata afwan yang berarti ampunan dari dosa. (e) Do’a Selamat, Seorang budayawan yang bernama Zastrouw Al-Ngatawi menegaskan bahwa tradisi ini merupakan bentuk dari sublimasi dari ajaran islam dalam tradisi masyarakat Nusantara. Hal ini merupakan cara walisongo untuk mengenalkan ajaran Islam mengenai cara bersyukur kepada Allah SWT, bersedekah, dan saling menjalin silaturrahim. (Ois-Heru-Zara )